Analisa Pemikiran dan Aktivitas Soekarno

6 Okt

Analisa Terhadap Pemikiran dan Aktivitas Politik Soekarno

Oleh: Andi Anggana

 

  1. Pendahuluan

Soekarno adalah figur pemimpin politik yang hingga saat ini kharismanya masih sangat terasa dalam perjalanan ideologi, khususnya marhaenisme di Indonesia. Praktik politik dan konsepsi demokrasi terpimpin yang diterapkannya di Indonesia mampu memberikan warna lain dalam konsep demokrasi. Peran Soekarno untuk Indonesia sangat besar, sebab Soekarno adalah pahlawan bangsa dan negara ini ketika perlawanan terhadap penjajahan kolonialisme berhasil dengan terciptanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan begitu, Soekarno pantas diberi gelar founding fathers , yaitu bapak pembangun negeri dan bangsa ini.

Dalam pada itu, Soekarno dikenal dengan jiwa pemberontak, hal ini sebenarnya merupakan pengaruh dari perjalanan hidup dan karir politik pada masa itu yang selalu terjerat oleh bangsa asing yang datang dengan sikap imperialisme barat sehingga dalam pandangan Soekarno, setiap bangsa dan negara mempunyai jalan masing-masing dalam menentukan kemana arah dan tujuan bangsa dan negara tersebut, namun jika dalam penentuan arah dan tujuan bangsa dan negara tersebut dihalang-halangi, maka sudah sepantasnya bangsa dan negara tersebut melawan dengan kekuatan penuh sebagai respon atas pengaruh itu. Sungguh berani sikap Soekarno pada masa itu, sehingga dapat dikatakan bahwa Soekarno lahir sebagai desain Tuhan dalam merangkai sejarah perjuangan bangsa dan negara Indonesia.

Walaupun Soekarno memiliki sejarah manis dalam mendirikan NKRI, akan tetapi tetap saja ada beberapa sisi negatif yang harus diketahui, sebab Soekarno adalah manusia biasa yang mungkin saja melakukan suatu kesalahan. Bagian terpenting dalam sejarah Soekarno dan Indonesia terjadi pada saat Soekarno menerapkan suatu konsepsi tentang demokrasi terpimpin, yang dalam pandangannya adalah demokrasi Indonesia sejak zaman purbakala-mula ialah demokrasi terpimpin, dan ini adalah karakteristik bagi semua demokrasi-demokrasi asli di Benua Asia. Atas dasar itu, Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin sehingga mengakibatkan timbulnya suatu sistem otoriter, sebab kekuasaan terpusat dan dengan kekuasaan seperti itu, Soekarno melakukan tindakan non-demokratis, hingga akhirnya Soekarno digulingkan oleh berbagai elemen. Oleh karena itu, pembahasan Soekarno dalam tulisan ini akan mengupas berbagai hal tentang Soekarno.

 

 

  1. Biografi Soekarno

Soekarno (1901-1970) adalah keturunan penganut ajaran theosofi Jawa, dan Ibunya adalah penganut agama Hindu Bali.[1] Soekarno merupakan seorang siswa yang mendapat pendidikan barat sekuler yang kemudian aktif dalam kegiatan politik ketika usianya memasuki dewasa. Soekarno lahir ketika pada masa permulaan era kebangkitan dan pergerakan nasional, yaitu pada tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng, Surabaya. Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 merupakan zaman yang gelap. Sebaliknya zaman itu bagi mereka di belahan bumi lain adalah zaman penuh semangat di dalam pasang naiknya revolusi kemanusiaan.[2] Ibunya bernama Idayu Nyoman Ray dan ayahnya bernama R. Soekemi Sosrodihardjo, kemudian kakaknya bernama Soekarmini. “Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, merupakan keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibuku”, ujar Soekarno.[3] Soekarno mempunyai kakek yang ahli dalam ilmu gaib dan ahli kebatinan yang bernama Raden Hardjodikromo, dengan berhubungan terhadap kakeknya ini secara tidak langsung Soekarno mendapat ilmu kebatinan dalam menjalani karir politiknya kelak.

Dilihat dari garis ayahnya, Soekarno berasal dari keturuan priyayi rendahan, dalam hal ini kedudukan sosial-ekonomi keluarganya hanya sedikit lebih baik dari golongan kebanyakan rakyat di Indonesia, yang dikemudian hari disebut oleh Soekarno dengan istilah Marhaen.[4] Namun ketika dilihat dari garis kepercayaan, maka dapat ditarik pengertian bahwa Soekarno termasuk golongan “abangan”, yang menurut Clifford Gerrtz, golongan yang tidak sepenuhnya taat pada ajaran Islam.

Soekarno pada masa kecilnya sangat menyukai wayang, hal ini sebenarnya merupakan pengaruh dari ayahnya yang sangat menggemari wayang. Soekarno juga sangat dekat dengan pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Sarinah (pembantu Soekarno) mengajarkan Soekarno tentang cinta kasih terhadap rakyat jelata, dalam pembelajarannya dengan wayang dan pembantunya itu, Soekarno tersosialisasikan dalam budaya Jawa, yang kemudian membentuk kepribadiannya. Ciri-ciri dari budaya Jawa adalah sinkretisme, yaitu suatu hal yang memungkinkan orang jawa untuk memadukan apa yang baik dari dalam dirinya sendiri dengan apa yang dianggapnya baik dari luar, dan ciri-ciri itulah yang kemudian sangat menonjol di dalam pemikiran Soekarno.

Pendidikan formal Soekarno dijalani di Desa Tulung Agung, disana Soekarno dibimbing oleh guru serta ayahnya dalam hal pendidikan, hingga pada tahapan diluar kelas pun soekarno masih tetap belajar membaca dan menulis atas perintah dari ayahnya. Setelah pindah sekolah ke sekolah Angka Loro di Sidoarjo, dan kemudian pada usia 12 tahun pindah ke Sekolah Angka Satu di Mojokerto dan duduk di kelas 6, hingga akhirnya di sana Soekarno menjadi murid yang pandai.

Setelah mengalami perkembangan yang sangat cepat, Soekarno kemudian pindah sekolah ke Europeese Lagere School (ELS) di Mojokerto dan turun ke kelas lima. Disamping belajar di sekolah itu, Soekarno juga mengambil “les” pelajaran bahasa Perancis di brynette de la Roche Brune. Setelah lulus di ELS Mojokerto, kemudian pendidikannya dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) Surabaya, sebenarnya sekolah ini adalah sekolah yang sangat sulit dimasuki oleh para pribumi, namun karena Soekarno mampu membayar mahal, maka Soekarno pun masuk sekolah ini dan kemudian di sekolah ini Soekarno mengenal teori marxisme dari seorang gurunya, yaitu C. Hartough yang menganut paham sosial demokrat.[5]

Perkembangan intelektual Soekarno didorong oleh kemiskinan yang kemudian menderanya pada waktu itu, dengan kemiskinan itu Soekarno mencari hiburan dengan menyelami alam ilmu pengetahuan, dalam pengakuannya bahwa ketika membaca, Soekarno seolah-olah sedang bercengkerama dengan tokoh-tokoh besar dari segala bangsa. Soekarno juga didorong oleh lingkungannya pada waktu itu, sebab selama belajar di Surabaya, Soekarno tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.

Pada masa mudanya, Soekarno menikahi putri dari Tjokroaminoto, dengan begitu Soekarno selalu mengikuti kemana pun Tjokroaminoto pergi, mulai dari diskusi-diskusi dalam Sarekat Islam sampai pada tahapan pidato Tjokroaminoto pun selalu diperhatikan dengan baik, maka tidak salah bahwa Tjokroaminoto sangat mempengaruhi dan mengubah hidupya. Di Surabaya pula Soekarno kemudian mendirikan perkumpulan politik yang bernama Trikoro Darmo, yaitu organisasi para pelajar yang seumuran dengan Soekarno, yang berlandaskan kebangsaan serta kegiatannya adalah mengembangkan kebudayaan, mengumpulkan dana sekolah serta membantu korban bencana alam.

Dalam pada itu, selain Soekarno aktif dalam organisasinya itu, Soekarno juga mengikuti kelompok studi yang diselenggarakan oleh kelompok diskusi Studieclub, yaitu sebuah kelompok studi yang aktif membahas buah pikiran dan cita-cita. Dalam kelompok studi inilah Soekarno pertama kali berpidato, sebab Soekarno pada waktu itu didorong oleh sikapnya yang tidak setuju terhadap pidato ketua studieclub yang mengatakan bahwa menguasai bahasa Belanda menjadi keharusan bagi generasi pemuda. Dalam pidato tersebut, Soekarno menghimbau para anggota Studieclub untuk bersatu dan mengembangkan bahasa Melayu, baru kemudian bahasa asing, terutama bahasa Inggris, karena bahasa ini merupakan bahasa diplomatik.

Pada tahun 1921 Soekarno lulus dari HBS dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoge school/THS) di Bandung. Pada tahun 1926, Soekarno lulus dari THS dengan baik dan sekitar tahun 1923-1924 Soekarno ikut mengubah nama Jong Java menjadi Jong Indonesia, dan kemudian pernah menjadi anggota organisasi kepanduan di Bandung. [6]

Dalam perjalanan Soekarno pada masa kecil dan sekolahnya, dapat diterangkan bahwa Soekarno dibesarkan di dua kota, yaitu Surabaya dan Bandung. Kedua kota tersebut tentu memberikan pengaruh tersendiri bagi kepribadian Soekarno. Dalam bagian lain, kedua kota ini, seperti kota-kota besar di pantai utara pulau Jawa, tidak mendapat pengaruh kuat dari kebudayan tradisional Jawa. Sarekat Islam atau Partai Komunis Indonesia, yang berorientasi internasional, berkembang di kota-kota seperti Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Semarang. Tetapi keduanya tidak begitu berkembang di Yogyakarta. Hal seperti itu tidak berubah setelah Soekarno tampil dalam arena politik di akhir tahun 1920-an.[7]

 

  1. Aktivitas Politik Soekarno

Dalam bagian ini akan menjelaskan pengaruh Soekarno dalam aktivitas politik di berbagai kegiatan, namun harus diketahui bahwa ketika Soekarno berada pada masa pendidikan dan kemudian terjun dalam partai politik di Sarekat Islam, Soekarno masih tergolong sebagai partisipan, dan belum mencapai pada pencapaian politik sesungguhnya, yaitu sebagai seorang pemimpin politik.

Sebelumnya telah dijelaskan, ketika Soekarno menempuh pendidikan di Surabaya telah meniti karir politik dengan mendirikan sebuah perkumpulan politik yang bernama Trikoro Darmo, yang mempunyai arti tiga tujuan suci dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial. Dalam mengisi waktu luang yang lain, Soekarno juga mengikuti kegiatan Sarekat Islam, walaupun hanya terbatas pada anggota dan hanya mengikuti kemana pun pemimpin Sarekat Islam itu pergi dalam rangka kegiatan politik dari organisasi ini.

Kegemaran Soekarno pada politik terlihat ketika mengganti nama Jong Java menjadi Jong Indonesia bersama para temannya dan juga ketika berada di Bandung, Soekarno terlibat dengan salah satu organisasi kepanduan dalam meningkatkan kepemimpinan pada waktu itu. Namun dapat dijelaskan dalam bagian ini, yaitu aktivitas dari Soekarno yang paling menonjol pada saat menulis sebuah artikel panjang di Suluh Indonesia Muda dengan judul ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.”[8] Tulisan Soekarno ini merupakan pernyataan lebih lanjut dari pemikiran yang pernah dilontarkan PI di negeri Belanda.[9]

Sebenarnya dalam tulisan tersebut, Soekarno sedang dalam pencarian jati diri dalam bentuk pematangan ideologi, dalam tulisan tersebut secara langsung menempatkan dirinya dalam golongan nasionalis yang sedang berusaha membina persatuan di antara berbagai macam ideologi yang berkembang pada saat itu pada pra-kemerdekaan Indonesia.

Untuk merealisasikan ide tersebut, Soekarno bukan saja terlibat dalam dialog-dialog ideologis, tetapi kemudian mendirikan sebuah partai politik yang bernama Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927.[10] Dengan demikian, Soekarno telah berperan aktif dalam kancah politik dan tampil sebagai seorang pendiri partai politik dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dalam pengaruh Soekarno, PNI menjadi sebuah partai besar pada waktu itu yang dalam asas partainya terbentuk sebagai bagian dari golongan nasionalis dalam menciptakan persatuan dari berbagai aliran politik yang ada pada waktu itu.

Selanjutnya, berdasarkan pemahaman Soekarno dalam tulisan yang pernah dimuat di suluh Indonesia Muda. Akhirnya, Soekarno bersama Soekiman yang merupakan perwakilan dari Sarekat Islam mempunyai rencana untuk membentuk suatu badan federasi partai-partai politik yang kemudian terselenggara dengan nama Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Walaupun badan federasi tersebut diapresiasi oleh para pimpinan partai politik pada waktu itu dalam rangka perlawanan terhadap pihak pemerintah kolonial, namun badan federasi ini di kemudian hari memudar, karena partai-partai politik yang tergabung dalam badan federasi ini lebih mementingkan partai masing-masing.

Pada masa itu juga kemudian lahir beberapa konflik kepentingan yang melahirkan beberapa blok, di satu sisi ada yang bersifat kooperatif terhadap pihak kolonial, namun di sisi lain ada juga yang bersifat non-kooperatif. Di dalam konflik kepentingan tersebut akhirnya menimbulkan perpecahan, sehingga Soekarno disidang dalam pengadilan kolonial di Bandung pada tahun 1930. Pada waktu Soekarno masuk penjara, PNI yang dibentuk oleh Soekarno dibubarkan oleh Sartono dan diganti dengan Partai Indonesia (Partindo). Namun kelompok pendukung Soekarno yang merasa kecewa segera membentuk organisasi baru pengganti Partai Nasional Indonesia, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).

Setelah bebas dari penjara, Soekarno kemudian ingin mempersatukan dua kelompok nasionalis yang merupakan bagian dari PNI pada waktu Soekarno belum di penjara. Namun usahanya gagal dan akhirnya Soekarno memilih aktif dalam Partindo.[11] Sedangkan PNI Baru kemudian dipimpin oleh Hatta.

Partindo yang dipimpin oleh Soekarno menjalankan kegiatan politik dengan gerakan protes terhadap kebijakan pemerintah kolonial dan menggalang partisipasi rakyat dalam bidang politik. Pada masa ini dapat dipahami bahwa gerakan Soekarno sebagai perwujudan keterampilan politik dalam mengaplikasikan gagasannya untuk menentang pemerintah kolonial pada waktu itu. Dalam gerakan penentangan kebijakan terhadap pemerintah kolonial tersebut, akhirnya pihak pemerintah kolonial menangkap sejumlah tokoh-tokoh yang berpengaruh pada waktu itu, termasuk Soekarno yang kemudian dibuang ke daerah Endeh, Flores dan selanjutnya dibuang juga ke Bengkulu. Pada saat di Bengkulu inilah kemudian Soekarno aktif dalam organisasi Islam modern, seperti Muhammadiyah. Pada saat pengasingan itu juga kemudian polemiknya dengan M. Natsir terjadi mengenai bentuk negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah dari pengasingan tersebut, akhirnya Soekarno kembali dalam upaya menjalankan perjuangan terhadap pemerintah kolonial. Hingga pada waktu sebelum proklamasi, Soekarno telah terlibat dalam pembicaraan khusus mengenai dasar dari negara Indonesia, sehingga pada 1 Juni 1945 pidato Soekarno tentang dasar negara Indonesia, yang diberi nama Pancasila diterima dengan sedikit rumusan yang kemudian diperbaiki.

Dalam bagian lain, puncak pertarungan ideologis dengan berbagai kelompok terjadi ketika masa penjajahan Jepang, hal tersebut yang kemudian melahirkan rumusan Pancasila. Keberhasilan ini merupakan hasil jerih payah Soekarno dalam rangka mencari bentuk kompromi antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Tetapi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, masalah ini dibicarakan lagi oleh berbagai kelompok dalam mendamaikan kedua belah pihak yang kemudian berdamai atas nama Pancasila.

Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta membaca teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga untuk memimpin Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya, Komite Nasional Indonesia Pusat yang merupakan kelanjutan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan untuk memilih Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada saat itu, kemudian dapat diterangkan bahwa aktivitas politik Soekarno mencapai puncaknya, hingga pada kemudian hari konsepsi demokrasi terpimpin dari dirinya yang kemudian membuat Soekarno kehilangan jabatan sebagai seorang presiden.

  1. Karya-Karya Soekarno

Sebenarnya karya-karya dari Soekarno tersebar dalam bentuk pidato-pidato dan tulisan-tulisan lepas, hal tersebut mungkin karena aktivitas Soekarno yang terlalu sibuk dalam menjalankan kegiatan politik, namun harus dimengerti bahwa karya-karya Soekarno meskipun dalam bentuk pidato-pidato dan tulisan-tulisan selalu membawa pemikiran-pemikiran yang memiliki daya filosofis dan kajian pengetahuan luas.

Karya yang sangat fenomenal dari Soekarno adalah kumpulan tulisan-tulisan dari beberapa Koran dan surat yang dibuat oleh Soekarno dalam menganalisa, memahami, dan menjawab berbagai persoalan yang pada waktu itu terjadi. Karya ini pun dijadikan sebuah buku yang diberi judul Dibawah Bendera Revolusi. Buku ini secara garis besar mengungkap berbagai pemikiran-pemikiran yang dilontarkan Soekarno dalam merespon berbagai macam persoalan yang terjadi. Sebagai contoh, pada awal halaman buku ini menjelaskan bahwa menurut Soekarno, esensi dasar dari konsep nasionalisme, Islamisme, dan marxisme yang ada di Indonesia berasal dari suatu dasar yang sama, yaitu hasrat untuk melawan suatu sistem yang merugikan, yaitu kapitalisme dan imperialisme barat. Kemudian, dalam tulisan tersebut Soekarno mempunyai pemahaman bahwa ketiga aliran itu dapat bersatu melawan musuh bersama, walaupun Soekarno mengetahui bahwa ketiganya tidak dapat melebur menjadi satu.

Selanjutnya, pidato-pidato Soekarno layak disebut sebagai karya-karya terbaik dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Beberapa pidato Soekarno, antara lain adalah pidato Soekarno pada rapat besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di gedung Tyuuoo Sangi-In yang kemudian menghasilkan rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia hingga saat ini.

Lebih lanjut, pidato Soekarno mengenai demokrasi terpimpin mampu memberikan warna lain dalam pemahaman dunia saat itu yang selalu menganut demokrasi dari barat. Pidato konsepsi demokrasi terpimpin Soekarno mampu memberikan sebuah kontribusi bagi penularan kaidah pengetahuan dunia, sebab demokrasi terpimpin yang dimaksud olehnya mampu memberikan kepada Soekarno suatu kekuasaan penuh yang terpusat ditangannya. Inilah sebuah karya Soekarno yang mampu memberikan karakteristik demokrasi-demokrasi asli di Benua Asia, khususnya dalam ruang lingkup Indonesia.

 

  1. Pemikiran-Pemikiran Soekarno

a)      Hubungan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Pemikiran Soekarno yang terkenal sampai saat ini adalah pemahaman mengenai Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Dalam pandangannya, ketika mempelajari dan mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa ketiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna berseteru satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini dapat bekerja bersama-sama menjadi suatu gelombang yang maha besar dan maha kuat, sehingga dapat menjadi suatu ombak taufan yang tidak dapat ditahan terjangannya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.[12]

Unsur-unsur tersebut sebenarnya telah ada sejak berdirinya beberapa organisasi di Indonesia, seperti Boedi Oetomo yang memiliki unsur nasionalisme, Sarekat Islam yang mempunyai unsur Islamisme, dan Partai Komunis Indonesia yang mempunyai unsur marxisme. Walaupun ketiganya memiliki perbedaan yang sangat fundamental, akan tetapi musuh mereka sama di Indonesia, yaitu kolonialisme dan imperalisme barat. Oleh karena itu, sangat memungkinkan ketiganya bersatu dalam menentang pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh barat.

Dalam menghubungkan ketiganya, Soekarno memberikan penalaran bahwa walaupun nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala pihak yang tidak mempunyai keinginan hidup menjadi satu dengan rakyat itu, dan Islamisme yang dalam hakekatnya adalah tidak ada bangsa, serta marxisme yang internasional, maka dengan berbagai perbedaan tersebut dapat dipersatukan ketiganya, sebab deengan melihat bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik nasionalis maupun Islamis, serta marxis telah beratus-ratus tahun lamanya mempunyai persamaan dan nasib yang belum merdeka, dan persatuan nasib itu yang menjadi pemersatu dari ketiganya karena menimbulkan rasa “segolongan”.[13]

Dalam tulisan tersebut seolah-olah Soekarno ingin membuktikan bahwa persahabatan antara ketiganya dapat tercapai karena memiliki suatu persamaan, yaitu sama-sama bernasib tidak merdeka dan persatuan nasib itu yang menimbulkan rasa “segolongan”. Dalam bagian lain juga dijelaskan oleh Soekarno, bahwa tulisan itu bukan untuk membuktikan perselisihan tidak dapat terjadi, perselihan dapat terjadi jika mencari-cari perselisihan, namun harus dingat bahwa dalam rangka menggapai kemerdekaan Indonesia, kita tidak memerlukan perselisihan.

Dapat dilihat bahwa Soekarno mendapat inspirasi untuk membuktikan bahwa persahabatan ketiga unsur ini dapat terjadi karena melihat berbagai tokoh dunia yang telah memainkan perannya di negara masing-masing. Dalam pelajaran tentang nasionalisme, dia memandang bahwa Gandhi dapat dijadikan contoh dalam menyatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, serta pihak Parsi yang jumlah penduduknya melebihi Indonesia dalam membangun negara mereka karena didorong oleh faktor nasionalisme yang sangat kuat.

Gandhi juga waktu itu sangat berhubungan erat dengan pihak Islam dan marxis. Dapat dilihat, bahwa hubungan baik terjalin erat antara Gandhi yang nasionalis dengan Maulana Mohammad Ali yang Islamis. Kemudian harus dilihat juga bahwa gerakan dari Partai Nasionalis Kuomnintang di Tiongkok saat itu, yang dengan rendah hati menerima faham-faham marxis yang tidak setuju kepada kemiliteran, imperialisme, dan permodalan.

Dengan berdasarkan hal tersebut, maka menurut Soekarno bukannya mengharapkan, nasionalis menjadi Islamis atau marxis dan sebaliknya, namun impian dari Soekarno adalah ketiganya dapat menjaga kerukunan dan persatuan antara tiga golongan itu, sehingga upaya-upaya dalam melangsungkan kemerdekaan dapat tercapai dengan baik oleh rakyat Indonesia karena telah didukung oleh kekuatan dari ketiga unsur tersebut dalam mencapai kemerdekaan.

 

b)      Sosialisme Indonesia

Pemikiran Soekarno dalam bagian ini memang tercampur oleh berbagai pemikiran yang sangat terkenal dari pola pemikirannya, namun pemikiran yang langsung dan mungkin terpengaruh oleh sosialisme di berbagai negara ini mengandung gagasan yang spektakuler, sebab konsep sosialisme yang mungkin mempengaruhi berbagai pemikir sebelumnya juga telah hadir di Indonesia sebelum konsep dari sosialisme itu muncul menjadi sebuah faham yang sangat mempengaruhi perkembangan ideologi masa kini.

Dalam hal ini sebenarnya cita-cita dari sosialisme di Indonesia adalah sosialisme dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu sosialisme-politik, sosialisme-ekonomi, sosialisme- kultural, sosialisme-keagamaan, yang kemudian jika diartikan dalam kata membentuk kita menjadi bahagia dalam pelayanan sosialisme tersebut. Hal tersebut juga mendasarkan dari konsep pengalaman nusantara yang mengenal tata tentrem, kerta raharja, gemah ripah, lohjinawi, yang berarti negaranya teratur, tentram, orang bekerja aman, orangnya ramah-ramah, berjiwa kekeluargaan dan tanahnya subur.

Sosialisme Indonesia adalah perwujudan dari kepribadian Indonesia yang bercorak gotong-royong yang dalam artinya dapat berupa pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu binantu bersama, amal semua, buat kepentingan semua, dan keringat semua buat kebahagiaan semua. Dalam konsep gotong-royong ini tidak seorang pun dianggap lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain, sebab semuanya mempunyai kedudukan yang sama dalam suasana persaudaraan di dalam lingkungan kekeluargaan.

Itulah sebabnya, konsep gotong-royong yang kemudian menelurkan sosialisme Indonesia. Dengan konsep gotong-royong tersebut sehingga menimbulkan pemahaman yang baru bagi perkembangan pemikiran di Indonesia. Dari kerja keras seperti itu, dapat menghasilkan sebuah gerak psikologis dalam menjalankan kerangka sosialisme yang menekankan pada kepentingan bersama.

c)      Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia

Dalam bagian ini, Soekarno memberikan persamaan antara pergerakan di Indonesia  dengan pergerakan di India yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi. Dalam pandangannya, pergerakan di India ada persamaan dengan pergerakan di Indonesia, sebab pergerakan di India dengan menggunakan slogan swadeshi merebut swaraj adalah sama dalam bentuk perjuangan dengan pergerakan di Indonesia. Dalam pandangan ini, swadeshi adalah suatu sikap yang kemudian dilontarkan oleh pemimpin gerakan agar tidak membeli barang-barang dari pihak kolonialisme.

Dengan jalan perjuangan seperti itu seharusnya Indonesia dapat melakukan suatu gerakan yang hebat juga seperti pergerakan di India. Sebenarnya, gerakan seperti itu juga telah ada di Indonesia dalam pola perjuangannya, namun belum menjadi suatu kekuatan yang sangat hebat dalam menggerogoti dari dominasi kolonialisme dan imperialisme barat. Dalam bentuk lain, usaha swadeshi dari bangsa dan negara Indonesia berbentuk usaha positif dalam memajukan kerajinan sendiri dan industrialisasi sendiri.[14]

Pandangan yang seperti ini yang mungkin menjadi persamaan dengan konsep swadeshi dari pemikiran Mahatma Gandhi. Namun, kemungkinan besar Soekarno mempunyai persepsi lain tentang swadeshi yang kemudian dijalankan di Indonesia yang menurutnya dapat memberikan gempuran dari imperialisme pada saat itu. Hal yang sama juga kemudian menjadi acuan dasar dari gerakan ini terhadap pergerakan di Indonesia, yaitu berbagai macam gerakan yang ada di dalam dan luar negeri disatukan jika mempunyai tujuan yang baik untuk memberikan penekanan terhadap pihak kolonailisme tersebut.

Dengan demikian, pergerakan swadeshi yang ada di India merupakan gambaran yang harus dipakai di dalam pergerakan di Indonesia, sebab swadeshi di India juga sebenarnya telah ada di Indonesia dalam rangka memberikan sebuah gerakan yang berbeda dari gerakan fisik. Selanjutnya, gerakan ini diharapkan akan mampu memberikan sikap nasioanlisme terhadap pergerakan di Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya dari kekuatan asing yang sangat kejam dan merusak. Namun harus diperhatikan bahwa gerakan swadeshi ini tidak mungkin dapat memberikan kemerdekaan bagi Indonesia jika tanpa melakukan gerakan revolusi fisik, sebab dengan revolusi fisik, Indonesia akan merdeka.

 

d)      Konsep Islamisme Soekarno

Dalam bagian ini akan menjelaskan tentang pemahaman Soekarno mengenai Islam. Secara khusus bagian ini menghadirkan tentang pemahaman Soekarno terhadap Islam secara lebih lengkap yang kemudian terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek pola pemikiran Soekarno lainnya. Dalam pandangannya, untuk menghidupkan rasionalisme dalam Islam, pemahaman ajaran Islam tidak selalu harus dilakukan dengan kajian al-Qur’an dan Hadis, namun harus dengan jiwa dan api Islam itu sendiri.

Dalam perkembangan pemikiran yang lain, Soekarno memberi pernyataan bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme, sebab dalam pemahamannya Islam dengan tegas menganjurkan umat untuk mengabdi kepada masyarakat di mana umat itu dilahirkan dan dibesarkan, hal tersebut senada dengan pendapat Jamaluddin al-Afghani yang mempropagandakan internasionalisme Islam.

Dalam hal demokrasi, menurut Soekarno, Islam juga mengandung prinsip demokrasi yang kemudian dapat menjiwai nasionalismenya itu. Dengan begitu, Soekarno menganjurkan untuk memisahkan agama Islam dengan negara di Indonesia.[15]Penjelasan tentang pemisahan antara agama Islam dan negara harus dipisah, sebab tidak ada ijma’ ulama yang mewajibkan persatuan agama dan negara dalam sistem politik Islam, selain itu banyak hal-hal negatif jika terjadi persatuan antara Islam dan negara, antara lain adalah timbulnya sikap apatisme, kemuduran ekonomi dan dunia ilmiah, serta dualisme hukum yang nantinya akan menyulitkan pemerintahan.

Sesuatu hal yang harus diperhatikan adalah pemikiran Soekarno sangat kental memakai rasionalitas. Hal tersebut senada dengan pendapat Badri Yatim, yang mengungkapkan bahwa:

 

“Memang Soekarno sering menafsirkan hukum-hukum Islam secara rasioanl tanpa batas. Oleh karena itu tolak ukur kebenaran dalam Islam menurutnya bukanlah teks al-Qur’an, tetapi penafsiran rasio atas teks itu. Oleh karena itulah kebenaran dipisahkannya agama dari negara bukanlah menurut al-Qur’an atau Hadis, tetapi Soekarno menunjukkan bahwa sejarahlah yang akan menentukan kebenarannya. Apabila sejarah menunjukkan kemajuan negara dan agama dalam keterpisahan itu, maka benarlah pendapatnya. Tetapi bila yang terjadi adalah yang sebaliknya, maka pendapatnya dianggap keliru dan patut ditinjau kembali.”[16]

Dalam pandangan peneliti Soekarno dan Islam, seperti Badri Yatim sehingga dapat memberikan bentuk baru bahwa sebenarnya Soekarno lebih menekankan pemahaman yang bersifat rasio daripada wahyu. Hal tersebut karena pengaruh dari berbagai kondisi pendidikan Soekarno yang memang dipengaruhi oleh pola pemikiran barat, selain itu kehidupan yang di dominasi oleh unsur Jawa juga menjadi salah satu penyebab dari gagasan-gagasan yang di ambil oleh Soekarno sehingga bersifat seperti itu.

e)      Kapitalisme Bangsa Sendiri

Di dalam pembahasan ini, Soekarno menuangkan gagasan yang sangat cemerlang tentang konsep kapitalisme yang  dapat saja terbentuk dari pribadi sendiri. Dalam pengertiannya, kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup yang timbul dengan cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Dengan begitu, kapitalisme terjadi atas dasar perbedaan antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal yang terpisahkan dengan alat-alat produksi.

Kapitalisme memang timbul dari cara produksi yang mengakibatkan banyak sekali penindasan terhadap kaum buruh, sehingga dalam pandangan ini Soekarno sangat menentang dengan keras faham seperti ini, apalagi jika faham ini berada di Indonesia. Kapitalisme juga sebenarnya melahirkan imperialisme modern yang dapat membuat sebuah bangsa menjadi celaka.

Dari berbagai pengaruh negatif tersebut sebenarnya pengaruh kapitalisme telah ada di dalam bangsa sendiri, seperti timbulnya tuan-tuan tanah dan banyaknya kaum pekerja yang lemah, dengan demikian kapitalisme dapat hadir dalam bangsa sendiri dan memakan bangsa sendiri. Oleh karena itu, seharusnya bangsa Indonesia melakukan upaya-upaya yang baik dan benar agar sistem kapitalisme tidak dapat berkembang biak di bangsa ini. Upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara peningkatan nasionalisme di segala aspek kehidupan, hal ini akan menjadi cermin bahwa segala tindakan yang dilakukan semata-mata untuk bangsa dan negara Indonesia, bukan untuk kepentingan individu.

Selanjutnya, nasionalisme tidak akan terbentuk jika tidak ada sikap gotong-royong yang baik, dengan begitu sikap yang harus dimunculkan untuk mengembangkan rasa nasionalisme adalah sikap gotong-royong karena sikap ini akan memicu kerja keras yang sangat hebat di setiap kalangan sehingga tidak akan membeda-bedakan status sosial dan ekonomi, serta suku, agama, ras. Konsep gotong royong ini yang akan memberikan pengaruh positif dalam menimbulkan nasionalisme tersebut, sebab ketika konsep ini menjadi sebuah sistem dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka konsep ini akan menjadi kuat dan membentuk nasionalisme, dengan demikian kapitalisme tidak akan lahir dan berkembang. Selanjutnya, kapitlaisme bangsa sendiri pun akan musnah seiring dengan terbentuknya kekuatan dari bangsa sendiri ini untuk menghalau dari serangan kapitalisme yang mengakar.

 

f)        Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi

Masih di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno menerangkan mengenai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dalam pandangannya, demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu suatu cara pemerintahan ini memberikan hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah.[17] Sesuai dengan apa yang Soekarno lakukan bahwa Indonesia harus “berdikari”, yaitu berdiri di kaki sendiri, maka dengan cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partai-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-citakan faham dan cara pemerintahan demokrasi itu, kaum marhaenis harus berhati-hati, artinya jangan meniru saja demokrasi-demokrasi yang kini dipraktekkan di dunia luar.

Di dalam tulisan ini, Soekarno mengkritik demokrasi yang diterapkan di barat yang sarat dengan tipu daya oleh kaum kapitalis dan borjuis dalam menindas kaum proletar. Dalam pada itu, demokrasi yang bersumber dari barat itu bukanlah sebuah demokrasi yang adil karena kaum proletar belum mendapatkan kesejahteraannya dengan baik. Demokrasi seperti itu yang jangan ditiru menurut Soekarno, sebab demokrasi itu bukan demokrasi untuk kaum marhaen Indonesia, karena demokrasi yang seperti itu hanya demokrasi parlemen saja, yakni hanya demokrasi politik, bukan demokrasi ekonomi.[18]

Sebenarnya pernyataan Soekarno telah dituangkan dalam tulisan sebelumnya mengenai demokrasi ini, yaitu demokrasi politik belum tentu mampu menyelamatkan rakyat, sebab di negeri barat dimana demokrasi politik dijalankan, kapitalisme merajalela dan kaum marhaen/proletar sengsara. Oleh sebab itu, kaum nasionalis Indonesia tidak boleh memakai konsep demokrasi yang seperti itu, yang harus dilakukan adalah mencari demokrasi yang dapat menyelamatkan semua manusia.

Dengan begitu, seharusnya nasionalisme yang harus dijalankan adalah nasionalisme dengan konsep dasar peri-kemanusiaan, yaitu suatu konsep dimana harus dijalankan  sosio-demokrasi, yaitu suatu istilah yang timbul untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat banyak, khususnya di Indonesia, dan bukan mengabdi kepada sekelompok kecil saja.

Dalam pengertian lain, konsep dari sosio-demokrasi adalah menghidupkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam rangka mensejahterakan rakyat banyak. Ini adalah hal yang sulit, namun dapat dilaksanakan jika jiwa nasionalisme dari konsep tersebut dapat dikembangkan dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dasar dari konsep demokrasi ini pula yang kemudian mengilhami Soekarno dalam membentuk konsepsi demokrasi terpimpinnya untuk mempertahankan kekuasaan.

 

g)      Pancasila

Dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juli 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila ialah momentum bagi Soekarno dalam pembahasan mengenai ideologi yang akan dibawa oleh Indonesia. Dalam pandangan Soekarno pada saat pidato, Pancasila yang merupakan dasar dari bangsa dan negara Indonesia menganut sebuah fundamen, filsafat, dan pikiran yang sedalam-dalamnya, sebagai suatu jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.[19]

Dasar dari Pancasila tersebut menurut Soekarno adalah semua untuk semua yang mengandung arti bahwa Pancasila hadir dalam rangka mewadahi berbagai kelompok yang ada di Indonesia, jadi Pancasila tersebut bukan untuk satu golongan saja, akan tetapi sebenarnya cerminan dari keragaman berbagai perbedaaan yang ada di Indonesia.

Sebenarnya dasar pertama yang kemudian dijelaskan oleh Soekarno adalah mengenai kebangsaan, dalam hal ini kebangsaan yang dimaksud adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geo-politik telah ditentukan oleh Allah SWT. Tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara sumatra sampai ke Irian.[20] Disanalah tujuan itu ingin sampai, mendirikan suatu negara di atas suatu kesatuan bumi Indonesia.

Prinsip yang kedua dari konsep Soekarno adalah internasionalisme, yaitu peri-kemanusiaan dalam berhubungan dengan manusia lainnya, khususnya di Indonesia dan umumnya yang berada di dunia. Dengan prinsip ini, maka Indonesia akan menuju pada persatuan dunia dan persaudaraan dunia. Dalam hal ini, Soekarno berpandangan bahwa kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.[21]

Prinsip yang ketiga kemudian menerapkan dasar mufakat, dasar perwakilan, dan dasar permusyawaratan. Dengan begitu, dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.[22] Sebenarnya pada dasar yang ketiga ini Soekarno ingin memberikan sebuah pembagian secara proporsional terhadap berbagai elemen yang ada di Indonesia, sehingga apapun keputusan nanti akan diperjuangkan oleh berbagai elemen tersebut sesuai kekuatan perjuangan mereka dalam memberikan pengaruh.

Pada tahap keempat adalah prinsip mengenai kesejahteraan sosial, yaitu sebuah prinsip yang memungkinkan tidak akan adanya kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Dengan prinsip seperti ini diharapkan bahwa Indonesia merdeka akan menjadi bangsa yang sejahtera, jauh dari kelaparan, dan cukup pangan serta kaum kapitalis tidak melakukan pola hegemoni kekuasaannya.

Prinsip yang kelima adalah prinsip yang menghimpun semua agama yang ada di dalam bangsa dan negara ini, yaitu prinsip tentang ketuhanan. Dengan adanya prinsip ini, maka bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.[23]

Konsep itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancasila, yaitu lima dasar yang mempunyai arti filosofis yang berasal dari bangsa dan negara Indonesia. Namun harus diingat, Pancasila yang ada saat ini telah mengalami penyempurnaan dari segi redaksi tetapi tidak mengurangi esensi dari apa yang Soekarno jelaskan dalam pidato pertamanya mengenai dasar negara.

Dalam bagian lain, menurut Soekarno dapat saja Pancasila itu diperas hingga menjadi satu dan kemudian dapat dikenal dengan sebutan gotong-royong. Konsep gotong-royong ini merupakan konsep dinamis, bahkan lebih dinamis dari perkataan kekeluargaan. Sebab konsep gotong-royong ini menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan secara bersama-sama. Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-biantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua kebahagiaan semua.[24]

Prinsip gotong royong ada di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.[25] Prinsip gotong-royong tersebut dapat menjadi motor perubahan bagi bangsa Indonesia dalam merangkai perbedaan yang ada. Dengan begitu, persatuan yang akan dijalin oleh bangsa ini akan membawa perubahan yang besar.

Dengan demikian, telah dikemukakan bahwa pemahaman Soekarno dalam Pancasila didasari oleh sikap bangsa Indonesia pula agar terbentuk suatu rasa persatuan yang akan berimbas pada terbentuknya Indonesia merdeka. Pancasila juga sebenarnya menerapkan dimensi lain, yaitu suatu dimensi filosofis dalam tujuannya merangkai perbedaan yang ada di Indonesia. Dapat dilihat sebenarnya, bahwa perbedaan yang ada di Indonesia bukan untuk dijadikan dasar dari perselisihan yang terjadi, akan tetapi harus dijadikan sebuah hubungan kolektif yang dapat saling melengkapi.

 

h)      Sosio-Naisonalisme dan Sosio-Demokrasi

Di dalam tulisan Soekarno pada fikiran Ra’yat tahun 1932 mengungkapkan permasalahan yang sangat kental dengan aroma persoalan nasionalisme yang bersifat kerakyatan. Dalam tulisannya dia mengungkapkan bahwa sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme yang mencari keselamatan seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut kemauan masyarakat itu.[26] Dalam bagian ini, Soekarno menjelaskan lagi bahwa sosio-nasionalime itu harus diperhitungkan, itulah sebabnya sosio-nasionalisme harus bertindak menurut kemauan masyarakat dan tidak melanggar kemauan masyarakat.

Dalam pandangan lain, Soekarno memberikan dasar bahwa perburuhan itu ada seiring dengan sistem kapitalisme tersebut. Dengan hal yang demikian, sosio-nasionalisme harus memandang perburuhan ini sebagai suatu keharusan. Selanjutnya, harus menerima perburuhan tersebut sebagai suatu alat dalam perjuangan. Pemikiran ini sepertinya telah dipengaruhi oleh konsep Karl Marx yang menganggap perburuhan itu sebagai senjata bagi kapitalisme.

Pemikiran Soekarno ini yang menandai bahwa pandangannya terhadap pertarungan kelas pasti terdapat di suatu negara dan hal tersebut harus dimaksimalkan dalam membangkitkan kekuatan buruh dalam membangun kekuatan besar di Indonesia untuk mengalahkan kolonialisme dan imperialisme barat. Dalam pandangan lain, Soekarno juga mengetahui bahwa perburuhan di Indonesia memiliki kekuatan yang besar sehingga kekuatan tersebut harus dimanfaatkan dengan cara penyadaran bahwa perburuhan selama ini ditindas oleh kelompok kapitalisme.

Salah satu keunggulan dari sikap sosio-nasionalisme dapat menimbulkan sikap non-kooperasi, yaitu suatu sikap tidak mau bekerja bersama-sama. Dengan begitu, perjuangan akan dilaksanakan dengan jalan tidak mau bekerja sama dengan kaum kapitalisme yang cenderung bekerja sama dengan kelompok kolonialisme dan imperialisme barat. Sikap non-kooperasi juga merupakan salah satu azas perjuangan dalam mencapai Indonesia merdeka. Di dalam mencapai Indonesia merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum dijajah akan selalu ada dan harus dijadikan kekuatan dalam perjuangan.[27]

Dalam pada itu, sosio-nasioanlisme ini kemudian melahirkan sikap non-kooperasi, yaitu suatu sikap yang tidak ingin bekerja sama dengan pihak pemilik modal. Dengan kata lain, perjuangan yang kemudian dihasilkan adalah perjuangan dalam bentuk tindakan yang tidak akan bekerja sama dengan para kaum pemilik modal karena merupakan representasi dari kolonialisme dan imperialisme barat. Perjuangan ini menjadikan non-kooperasi sebagai suatu prinsip yang hidup dalam mencerminkan sikap yang tidak mau bekerja bersama-sama diatas segala lapangan politik dengan kaum pemilik modal.

Perjuangan dari non-kooperasi ini bersifat perjuangan politik yang dapat saja perjuangannya bersifat radikal, namun dalam arti yang sebenarnya adalah radikal dari pembersihan hati, radikal pikiran, dan sebagainya. Pemikiran ini mengandung banyak pemahaman lain, salah satunya adalah non-kooperasi adalah suatu sikap menolak adanya sikap kerja sama dalam hal diplomasi di dalam parlemen, dengan begitu sikap ini memungkinkan adanya gerakan lain, yaitu suatu gerakan yang berada di luar parlemen.

Sikap sosio-nasionalisme ini yang kemudian berkembang pada tahapan yang lain yaitu sikap sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Pandangan besar ini sungguh berkaitan satu sama lainnya yang merupakan gagasan besar Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan gagasan seperti ini, Soekarno berhasil memberikan sebuah konsep besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, selain itu gagasan tentang sosio-nasionalisme yang sangat besar tersebut adalah salah satu gagasan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan persatuan di Indonesia.

 

I)             Konsepsi Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional

Konsepsi Soekarno mengenai ini pertama kali disiarkan dalam pidato pada siaran RRI Jakarta, pukul 20.05 WIB tanggal 21 Februari 1957. Konsepsi tersebut mengenai dua hal, pertama tentang kabinet yang akan diganti dengan Kabinet Gotong Royong, kedua mengenai satu dewan yang disebut dengan Dewan Nasional.

Dalam memberikan ide dan gagasan tentang Kabinet Gotong Royong, Soekarno berpendapat bahwa perkataan gotong-royong ini adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. Kabinet yang di dalamnya duduk semua partai-partai atau fraksi-fraksi di dalam Parlemen yang cukup mencapai kies-quotient. [28] Ini adalah penjelmaan daripada gotong-royong Indonesia, penjelmaan daripada jiwa Indonesia. Jikalau kita ingin selamat, saudara-saudara, marilah kembali kepada jiwa kita sendiri.[29]

Prisnip dari Kabinet Gotong Royong ini adalah prinsip kekeluargaan yang diselenggarakan oleh rakyat Indonesia dari dulu hingga saat ini, dan jika prinsip gotong royong ini dijalankan, maka akan hilanglah apa yang dinamakan oposisi yang memuat arti sebagai pembangkang dari kebijakan pemerintah. Prinsip gotong-royong ini memberikan hasil musyawarah yang berjalan dengan kekeluargaan, yaitu keputusan yang dicari dengan kata sepakat pada permufakatan dari setiap kelompok yang ada dalam kabinet.

Dalam kabinet ini sebenarnya memberikan kepastian dari kelompok-kelompok kecil dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan begitu kelompok-kelompok kecil atau partai-partai yang kecil pun mempunyai kesempatan duduk di dalam kabinet meski di dalam bentuk sekadar wakil menteri saja.[30]

Sementara itu, Dewan Nasional ini dipimpin oleh Soekarno sebagai delegasi dari penyambung lidah rakyat Indonesia. Dengan begitu, Soekarno dalam konsepsinya ini menekankan suatu sistem terpusat, dimana yang memegang kendali pemerintahan berada pada satu orang, yaitu Soekarno yang menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya dalam bentuk seperti itu. Namun harus diingat bahwa menurut Soekarno, hal tersebut agar mewujudkan perdamaian nasional.

Konsepsi kabinet Gotong-Royong dan Dewan Nasional ini memang harus diapresiasi dalam bentuk pemikiran untuk kelangsungan Indonesia merdeka, karena dengan konsepsi ini pihak minoritas terjamin hak-haknya dalam memberikan kontribusi bagi Indonesia merdeka. Dengan begitu, persatuan dan kesatuan yang hendak dicapai akan tetap berlangsung sesuai dengan harapan Soekarno. Namun perlu dingat juga bahwa konsepsi ini menuai kritik dari berbagai kalangan pada waktu itu. Diantaranya adalah kritikan dari berbagai organisasi yang berbeda dengan cara pemahaman Soekarno yang menganggap konsepsi yang dikeluarkan tersebut dalam rangka penguatan basis komunis yang berada di Indonesia. Hal tersebut sebenarnya mempunyai alasan yang kuat, di mana memang sistem yang akan dijalankan ini mengandung sebuah sistem terpusat, yaitu Dewan Nasional dan Kabinet Gotong Royong dikepalai oleh orang yang sama, yaitu Soekarno. Dari dasar itu kemudian tidak salah bahwa ada motif lain, yaitu motif mempertahankan kekuasaan yang ingin dijalankan oleh Soekarno pada waktu itu.

 

  1. Kritik Terhadap Pemikiran Soekarno

Dalam bagian ini, berdasarkan pemahaman-pemahaman yang telah dilontarkan oleh Soekarno dalam berbagai media, seperti tulisan dan pidato yang memuat berbagai pemahaman mengenai berbagai hal. Salah satu bentuk kritik untuk Soekarno mengenai pemahaman tentang konsepsi demokrasi terpimpin yang menurutnya adalah demokrasi Indonesia sejak zaman purbakala dan menjadi karakteristik bagi semua demokrasi-demokrasi asli di Benua Asia.

Dalam pandangan berbeda, sebenarnya demokrasi yang diterapkan oleh Soekarno termasuk dalam bentuk tindakan otoriter dan menjadi suatu kekuasaan diktator pada masa itu, di mana menjadikan suatu kekuasaan terpusat sehingga berbagai keputusan harus sesuai dengan presiden yang pada waktu itu dijabat oleh Soekarno. Dengan begitu, dapat dianalisa bahwa konsep yang ingin diterapkan oleh Soekarno sebenarnya hampir mirip dengan konsep tujuan dari sistem komunisme, oleh karena itu sangat wajar bila konsepsinya selalu dikaitkan dengan pemahaman komunisme pada waktu itu.

Dengan berlakunya demokrasi terpimpin, Soekarno dalam menjalankan pemerintahannya bersikap otokratis. Perjalanan pemerintahannya pun selalu sesuai dengan konsep-konsep yang digariskan dengan pemahamannya. Dengan begitu, konsep yang kemudian keluar dari pemahaman Soekarno selalu saja bertentangan dengan praktik politik yang sedang dihadapinya. Berdasarkan hal tersebut, Soekarno selalu mendapat tekanan yang hebat dari para lawan-lawan politiknya di kemudian hari dalam upaya menjatuhkan dia dari singgasana kekuasaan.

Namun perlu diingat, pemikiran Soekarno mengenai demokrasi terpimpinnya mampu memberikan corak lain dalam berbagai demokrasi yang telah ada, bahkan demokrasi terpimpin itu mampu bersanding dengan konsep demokrasi liberal yang telah ada jauh sebelum konsep demokrasi terpimpin ini muncul. Meskipun demikian, konsepsi demokrasi terpimpin Soekarno tidak berlangsung lama, sebab demokrasi terpimpin tersebut melahirkan tindakan yang tidak demokratis sehingga selalu dijadikan alasan untuk meruntuhkan rezim Orde Lama.

Dalam pada itu, Moh. Hatta pernah berkomentar bahwa Soekarno berhubungan dengan tabiat dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya sering memandang garis besarnya saja, sebab itu seringkali mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya. Ditambahkan lagi, bahwa tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambil kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya. Dan sistem diktator yang bernama demokrasi terpimpin akan membawa kepada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya. Menurut penulis, apa yang dijelaskan oleh saudara Moh. Hatta memang terjadi dan harus menjadi catatan kita dalam melihat kehidupan hitam putih Soekarno.

 

  1. Kesimpulan

Memahami Soekarno dalam berbagai hal memang sulit untuk dimengerti secara jelas dan jernih, sebab pemahaman Soekarno mungkin saja berbeda dengan pemahaman berbagai orang yang telah melihatnya dalam berbagai bentuk, seperti melihatnya sebagai seorang muslim atau sebagai seorang negarawan. Namun hal tersebut harus diungkap dengan jelas bahwa figur Soekarno lebih kental sebagai figur seorang negarawan dibanding sebagai seorang muslim yang taat.

Dalam bagian lain, Soekarno selalu mendekatkan pemikirannya dengan para penikmat konsep di Indonesia melalui media sehingga pemikiran yang diolah Soekarno menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola kehidupan sosial dan politik waktu itu yang sering didominasi oleh berbagai kekuatan asing, seperti kolonialisme dan imperialisme barat. Kemudian, dengan media yang selalu memberitakan gagasannya dalam bentuk gambaran yang jelas tentang berbagai hal, Soekarno selalu memberikan sebuah pemikiran yang berbeda dalam setiap penerbitannya. Dengan demikian, Soekarno memang cerdas dalam melakukan propaganda untuk membentuk opini publik dalam melakukan berbagai serangan agar bangsa Indonesia terbebas dari segala penindasan.

Selain itu, beberapa hal yang dapat diambil oleh berbagai kalangan dari pemahaman Soekarno ialah setiap tindakan yang berusaha untuk melakukan pengambilan kekayaan dan pengrusakan di tanah air harus senantiasa digagalkan dengan cara-cara yang telah digariskan oleh Soekarno, yaitu cara-cara dimana dalam menggunakan cara itu dapat memberikan sebuah tindakan reaktif dalam aksi revolusioner.

Soekarno juga kemudian menempatkan dirinya sebagai seorang nasionalis dibanding sebagai seorang Islamis, ini memberikan tanda bahwa Soekarno dapat dengan mudah masuk ke berbagai aliran, bentuk, dan kelompok di Indonesia. Dengan begitu, persatuan yang telah dibentuk dalam kata Pancasila akan terbentuk. Penekanan bahwa diri Soekarno adalah nasionalis juga menggambarkan bahwa Soekarno memiliki sebuah rasa cinta tanah air yang sangat tinggi.

Oleh karena itu, dapat diberikan suatu apresiasi terhadap Soekarno dalam hal ini, sebab dengan pemikiran dan berbagai gerakan yang dikeluarkannya dengan sangat berani yang kemudian memberikan kemajuan yang sangat berarti bagi bangsa dan negara Indonesia, khususnya dalam bidang pemikiran yang telah dikembangkan dari hasil penyerapan beberapa pengetahuan dari luar.

 

  1. Penutup

Berbagai hal telah dijelaskan mengenai kehidupan Soekarno, akan tetapi penjelasan tersebut hanya selintas dari apa yang telah Soekarno perbuat untuk bangsa dan negara ini. Soekarno memang dibesarkan oleh kebudayaan Jawa yang kental oleh sifat sinkretisme dan mengalami pendidikan barat yang sekuler, sehingga pemikiran Soekarno selalu dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Pengaruh tersebut kemudian memberikan pemahaman tentang aliran-aliran yang berkembang di Indonesia, seperti Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.

Soekarno berdasarkan pemahaman penulis terhadap pemikirannya dapat dipastikan bahwa Soekarno ialah seorang pemimpin politik yang netral terhadap agama, namun sangat kental dalam segi nasionalisme terhadap bangsa dan negara Indonesia. Dengan begitu, harus dipahami bahwa pola pemikiran Soekarno selalu dibenturkan dengan rasio yang matang dalam mengambil setiap keputusan, serta setiap keputusan dari Soekarno kemungkinan besar memberikan arah politik dalam praktik politik di Indonesia.

****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1]Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 1.

[2]Cindy Adams, Bung Karno penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta:  Media Pressindo, 2007), h. 21.

[3]Ibid., h. 23.

[4] Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, h. 6.

[5]Ibid., h. 9.

[6]Ibid., h. 12.

[7]Ibid., h. 13.

[8]Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panita Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1963), h. 1.

[9]Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, h. 32.

[10]Ibid., h. 33.

[11]Ibid., h. 34.

[12]Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 2.

[13]Ibid., h. 4.

[14]Ibid., h. 138.

[15]Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, h. 173.

[16]Ibid., h. 175.

[17] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 171.

[18]Ibid., h. 173.

[19]Floriberta Aning, ed., Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h. 116.

[20]Ibid., h. 136.

[21]Ibid., h. 140.

[22]Ibid., h. 141.

[23]Ibid., h. 148.

[24]Ibid., h. 151.

[25]Ibid., h. 152.

[26] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 187.

[27]Ibid., h. 189.

[28]Wawan Tunggul Alam, ed., Demokrasi Terpimpin: Milik rakyat Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 38.

[29]Ibid., h. 39.

[30]Ibid., h. 41.

Tinggalkan komentar